Daán yahya/Republika

Telusur Sejarah Gaza

Akibat penjajahan Israel, Jalur Gaza kini tak ubahnya penjara-terbuka paling besar di muka bumi.

Oleh: Hasanul Rizqa

Israel merupakan agresor yang eksis sejak 1948 hingga saat ini. Akibat dijajah puluhan tahun lamanya oleh entitas zionis itu, Palestina kehilangan sebagian besar tanahnya. Bahkan, hanya tersisa dua wilayah untuk Palestina de facto, yakni Jalur Gaza (Qitha Ghazzah) dan Tepi Barat (adh-Dhiffat al-Gharbiyyah), yang di dalamnya termasuk Baitul Makdis atau Yerusalem Timur—tempat Masjid al-Aqsha berada.

 

Berbeda dengan Tepi Barat, Jalur Gaza berukuran jauh lebih sempit. Luasnya meliputi 365 km persegi atau kira-kira setara dengan setengahnya Jakarta. Jalur Gaza dihuni lebih dari 2,3 juta jiwa sehingga menjadikannya salah satu daerah terpadat di muka bumi.

 

Jalur Gaza merupakan “penjara terbuka” terbesar di dunia. Sebutan itu cukup beralasan karena hampir seluruh perbatasannya diblokade oleh Israel. Terlebih lagi sejak Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah atau Hamas berkuasa di sana pada Juli 2007. Bahkan, Mesir yang notabene negara mayoritas Muslim terdekat, seperti ikut-ikutan Israel dalam memberlakukan pengetatan terhadap perbatasan Rafah, Gaza barat.

 

Untuk memperkuat blokade darat yang dilakukannya, Israel sejak 2016 membuat tembok raksasa di perbatasan Gaza yang merentang sepanjang 65 km. Dinding tebal itu memiliki tinggi lebih dari enam meter, dengan kedalaman hingga beberapa meter. Di dekat setiap tiang tembok berjulukan “Iron Wall” itu, militer zionis memasang menara-menara pengawas yang dilengkapi ratusan kamera pengintai dan sensor radar—selayaknya peralatan sipir untuk memantau para tahanan.

 

Tembok raksasa bukan hanya untuk mengepung Gaza. Israel juga membangun tembok tinggi yang menjulang di perbatasannya dengan Tepi Barat sepanjang 700 km. Entitas zionis itu berdalih, pembangunan “Iron Wall” dilakukan demi melindungi warga Israel dari potensi serangan “ekstremis” Palestina, termasuk roket-roket yang diluncurkan para pejuang Hamas.

 

Hanya ada tiga titik untuk masuk dan keluar Gaza. Dua di antaranya berada dalam kendali penuh Israel, yakni Pos Perbatasan Kerem Shalom (akses menuju Rafah) dan Beit Hanoun (akses ke Gaza Utara). Adapun satu lagi bersisian dengan wilayah Mesir, yaitu Penyeberangan Perbatasan Rafah atau disebut pula Gerbang Shalahuddin.

 

Itu berdiri di atas “garis perbatasan internasional”, yang mewujud sebagai bagian dari Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979. Walau statusnya internasional, pengaruh Israel di sana amatlah besar. Pemerintah zionis pun, misalnya, memberlakukan aturan bahwa Gerbang Shalahuddin hanya boleh difungsikan untuk perlintasan orang, sedangkan barang-barang yang hendak memasuki Gaza harus melewati Kerem Shalom.

 

Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979 adalah imbas dari kekalahan Mesir dalam Perang Enam Hari. Menang dalam pertempuran itu, Israel mencaplok Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari tangan Mesir. Barulah pada tahun 1979, Kairo mendapatkan kembali Sinai dari Israel, tetapi dengan berbagai syarat.

 

Di antaranya adalah bahwa antara wilayah Mesir dan Jalur Gaza dibangun zona penyangga (buffer zone) sepanjang 14 km yang dikendalikan militer Israel bekerja sama dengan Mesir. Zona ini, yang belakangan disebut Rute Philadelphi, dimaksudkan untuk mencegah distribusi senjata dan amunisi “ilegal” antara Mesir dan Jalur Gaza. Hal itulah yang kemudian menjadi pemicu pembangunan terowongan oleh para warga Palestina, bekerja sama dengan beberapa warga Mesir yang simpati kepada perjuangan mereka.

dok wikipedia

Terowongan perjuangan

 

Isolasi yang dilakukan Israel dan, ironisnya, Mesir memaksa Gaza untuk membangun terowongan-terowongan yang menembus blokade perbatasan. Pada faktanya, jaringan terowongan itu tidak hanya berfungsi memperlancar distribusi kebutuhan pokok masyarakat Gaza yang didatangkan secara “ilegal” (menurut perspektif Israel dan Mesir) dari luar Gaza. Atau, menyalurkan tenaga-tenaga kerja Gaza yang masih bermata pencaharian di Mesir. Jalur-jalur bawah tanah itu pun dimanfaatkan para pejuang Hamas untuk meningkatkan perlawanan terhadap Israel.

 

Tiar Anwar Bachtiar dalam buku Hamas: Kenapa Dibenci Israel? (2008) menjelaskan, Hamas lahir dari rahim organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) Cabang Palestina. IM sendiri merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi Hasan al-Banna di Mesir pada 1928 yang bervisi penguatan rasa persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), yang diwujudkan terutama melalui inisiatif-inisiatif dakwah dan pendidikan.

 

Pada 1935, Hasan al-Banna mengutus unsur-unsur pimpinan IM, yakni Muhammad As’ad al-Hakim dan Abdurrahman al-Banna ke Palestina. Tujuannya untuk menjajaki kemungkinan apa saja yang bisa dilakukan organisasi tersebut di sana. Kira-kira setahun kemudian, cabang IM di Palestina terbentuk. Awalnya, kantor cabang tersebut berada di Haifa, tetapi kemudian berpindah ke Gaza.

 

Pada 1980-an, muncul Syekh Ahmad Yasin sebagai tokoh utama IM Palestina di Gaza. Pada 9 Desember 1987, truk-truk Israel sengaja menabrak sejumlah warga Palestina hingga meninggal dunia. Pemakaman para syuhada itu diiringi 100 ribu orang di Gaza.

 

Tepat pada 10 Desember 1987, terjadilah Intifada I. Sejumlah pemuda menemui Syekh Ahmad Yasin dan mendesaknya agar memimpin gerakan perlawanan. Inilah cikal bakal Hamas yang bukan lagi sebuah cabang dari IM. Pada 18 Agustus 1988, Piagam Hamas dibacakan. Organisasi ini dipimpin Ahmad Yasin hingga sang tokoh syahid pada 2004.

Jaringan terowongan yang bertingkat-tingkat dan luas itu mengular sepanjang puluhan atau mungkin ratusan kilometer di bawah tanah Jalur Gaza.

Fase pembuatan terowongan dimulai beberapa tahun sebelum Hamas resmi terbentuk. Mulai pada 1982, terowongan digali oleh para penambang lokal Gaza yang berpengalaman dalam menggali sumur. Pada 1994, tren penggunaan terowongan mulai meningkat, seiring dengan besarnya reputasi Hamas di Gaza. Terowongan digunakan untuk mendistribusikan barang dan amunisi antara wilayah Rafah di Mesir dan Rafah di Gaza, yang berada di bawah kendali Otoritas Palestina sebagai bagian dari Perjanjian Damai Oslo.

 

Pada tahun 2000, intensifikasi penggunaan gerakan bawah tanah dimulai setelah Intifada II. Selama periode ini, penyelundupan senjata “ilegal” dan penambangan terowongan di Rafah meningkat. Hamas juga menjadikan jaringan terowongan ini bukan lagi sekadar rute transit yang panjang, dari satu titik ke titik lain.

 

Kelompok yang de facto memerintah Gaza sejak 2007 itu juga membuat gua-gua dan terowongan-terowongan bertingkat yang rumit, dengan dilengkapi ruangan-ruangan, aula-aula, dan gudang-gudang penyimpanan logistik. Banyak pintu masuk menuju terowongan bawah tanah itu dipasang, terutama di rumah-rumah tempat tinggal atau bangunan-bangunan semipermanen.

 

Dapat diasumsikan bahwa jaringan terowongan yang bertingkat-tingkat dan luas itu mengular sepanjang puluhan atau mungkin ratusan kilometer di bawah tanah Jalur Gaza. Seperti dikutip dari Middle East Eye beberapa waktu lalu, Profesor Joel Roskin merupakan seorang ahli dari Departemen Geografi dan Lingkungan Universitas Bar-Ilan yang telah mempelajari catatan-catatan terkait terowongan Gaza selama bertahun-tahun. Dengan nada pesimistis, ia mengatakan, pihak-pihak Israel manapun akan kesulitan untuk memetakan jaringan terowongan itu secara akurat, baik dari permukaan maupun luar angkasa.

 

“Hal lainnya yang menarik adalah Hamas meningkatkan (fungsi) terowongan, bukan hanya pada aspek ukuran, tetapi juga tujuan operasionalnya. Ini dimulai dengan penyelundupan barang, lalu berkembang menjadi (jalur) penyelundupan senjata, dan kemudian menjadi terowongan penyerangan,” ujar Roskin, dilaporkan The Jerusalem Post, beberapa waktu lalu.

Histori yang panjang

 

Tidak seperti Israel, Jalur Gaza memiliki sejarah yang merentang panjang hingga ratusan tahun ke belakang. Nama gaza diketahui pertama kali termuat dalam manuskrip yang berasal dari masa firaun Thutmose III pada abad ke-15 sebelum Masehi (SM). Daerah yang kini merupakan Gaza disebut sebagai Hazat dalam sumber-sumber kerajaan Asyur Baru, yakni masa 934-609 SM.

 

Dalam rumpun bahasa Semit, kata gaza berarti ‘kuat’ atau ‘tangguh.’ Adapun sumber-sumber Arab kerap menyebutnya Ghazzat Hasyim, sebagai bentuk perhormatan pada kakek buyut Nabi Muhammad SAW. Konon, jenazah Hasyim dimakamkan di sana.

 

Sejarah mencatat, Gaza merupakan titik temu pelbagai budaya dan peradaban besar. Jalur ini juga menjadi simpul jalur niaga yang penting, baik bagi Asia maupun Eropa. Dick Doughty dalam artikelnya, “Gaza: Contested Crossroad”, mengatakan, daerah itu telah dihuni manusia sejak lima ribu tahun sebelum Masehi. Fakta itu menjadikannya salah satu kota tertua di dunia.

 

Gerald Butt dalam bukunya, Life at the Crossroads: A History of Gaza, mengungkapkan Jalur Gaza pada masa lalu merupakan kota yang menjadi incaran bangsa-bangsa luar. Di antaranya ialah Mesir, Babylonia, Persia, Yunani, Romawi, Arab, Seljuk, dan Turki. Saat dikuasai Yunani, Gaza mampu membangun perpustakaan besar. Di bawah kendali Roma, Gaza memiliki sistem administrasi yang efektif.

 

Saat Byzantium menduduki Gaza, gereja agung didirikan oleh Raja Eudoxia. Butt mengutip catatan perjalanan seorang Italia ke Gaza pada 570 M. Pengelana ini menangkap kesan bahwa Gaza adalah kota yang menyenangkan dan terkenal. Warganya ramah serta telah mengenal banyak sentuhan peradaban dan pencapaian.

 

Gerald menolak karakterisasi negatif terhadap warga Gaza oleh Barat yang mereka sebut dengan orang Filistin yang materialistis dan tidak peduli peradaban. Karakterisasi yang salah ini, katanya, mungkin dipengaruhi pembacaan mereka atas teks Perjanjian Lama, yang menceritakan kondisi pascaperang antara orang-orang Filistin dan Yahudi.

 

Menurut Butt, orang Filistin asli merupakan salah satu “orang laut” yang datang ke pantai selatan dan timur Laut Mediterania pada abad 12 SM. Mereka mulai bermukim di Gaza pada 1175 SM. Orang Filistin memiliki ciri fisik yang lebih tinggi daripada warga lokal. Sebagian mereka bekerja sebagai pandai besi. Adapun yang lainnya terjun ke ranah perdagangan hingga negeri-negeri tetangga, semisal Pulau Aegean.

 

Mereka mendirikan lima negara kota di sepanjang Pantai Levantine dan menjadikan Gaza sebagai ibu kota. Meski dicitrakan buruk oleh Perjanjian Lama, Filistin masih memiliki kedekatan kultur dengan warga asli Gaza dibanding kaum Semitik lokal di sana. Namun demikian, semua peninggalan sejarah dan budaya Gaza hancur selama Perang Dunia I dan okupasi Israel sejak 1967.

 

Dihuni selama lebih dari tiga ribu tahun sebagai wilayah persilangan budaya, Gaza menunjukkan eksistensinya. Daerah bukan hanya titik persilangan budaya, tetapi juga sekaligus ikut terlibat dan menjadi bagian proses persilangan itu.

 

Gaza merupakan wilayah kaya budaya dengan kemampuan perekonomian yang mandiri. Gaza pun memiliki masa ketika filsuf, musisi, dan teolog pernah berjaya, hal yang kontras dengan kondisi Gaza saat ini. Butt mengungkapkan, meski berulang dihancurkan, Gaza mampu bersatu, bertahan, dan bersemi kembali.

dok epa-efe/aaron ufumeli

Dalam ulasan hasil pameran “Gaza at the Crossroads of Civilizations” yang diselenggarakan Musée d'Art et d'Histoire (Museum of Art and History) Jenewa, Swiss, pada 2007, tim editor Foundation for Science, Technology and Civilisation (FSTC) di laman Muslim Heritage mengutip pernyataan kurator pameran Marc-André Haldimann yang mengatakan Gaza pernah menjadi pintu penghubung dunia, bukan penjara tanpa jendela seperti saat ini.

 

Pemerintahan pra-dinasti Mesir pernah mendirikan Menara Tell Sakan pada 3. 500 SM di tepi Sungai Wadi Ghazzeh. Dominasi Mesir berakhir di milenia kedua Sebelum Masehi seiring menguatnya pengaruh populasi Syro-Palestina, Hykos. Namun, Mesir kembali berhasil berkuasa di sana.

 

Pada 734 SM, Raja Assyria mengambil alih wilayah Gaza dan menjadikannya perbatasan selatan. Batas ini lalu dijadikan jalan masuk Persia ke Gaza pada 539 SM. Invasi-invasi ini justru membuat perekonomian Gaza tumbuh pesat sebagai penghubung jalur perdagangan kertas dari Hadhramaut (Yaman), bahan mentah di Palestina, dan pelabuhan dagang.

 

Terbukanya jalur laut dimanfaatkan penganut Hellenis Yunani wilayah Boeotia untuk mendirikan Anthedon pada 520 SM di area yang terletak empat kilometer dari Gaza. Alexander Agung lalu menanamkan pengaruhnya di sana pada 332 SM. Gaza juga menjadi pelabuhan utama Imperium Byzantium.

 

Ekspor yang dilakukan Gaza ke Eropa sejak abad kelima Masehi membuka para teolog Eropa untuk belajar di sana. Kehadiran Islam pada 637 M tidak membuat Gaza berhenti menjadi pusat pertemuan berbagai budaya. Bahkan, sekira 700-an M, Gaza melahirkan seorang imam besar, Muhammad Syafi'i.

 

Gaza kemudian bergantian berpindah ke tangan Pasukan Salib di abad ke-11. Pasukan Muslim berhasil mengambil alih Gaza hingga era Dinasti Turki Usmani yang menjadikannya perhentian pusat dalam rute perjalanan haji.

 

Dick Doughty dalam artikelnya, “Gaza: Contested Crossroad”, menulis, karena mengetahui strategisnya posisi Gaza, Muhammad SAW mengirim pasukan yang dipimpin 'Amr bin al-Ash pada 634 M untuk merebut Gaza dari Imperium Byzantium. Kemenangan membuat 'Amr bin Ash ditugaskan sebagai gubernur Gaza.

 

Di masa dinasti Islam, Gaza menjadi titik penting jalur haji dari Afrika dan utara Gaza. Pada 1187 M, Salahuddin al-Ayyubi berhasil menguasai Gaza dari tangan Pasukan Salib. Namun, ini hanya bertahan selama empat tahun sebelum pada 1191 Gaza kembali dikuasai Raja Richard.

 

Di masa Dinasti Mamluk (1250-1517 M), perekonomian Gaza sangat hidup. Perdagangan Mesir-Gaza pun sangat dijaga keberlangsungannya. Ibnu Battuta yang sempat singgah di Gaza pada 1326 menulis, Gaza merupakan kota yang mudah ditemui pasar di sana, dan ramai.

 

Sejak abad ke-16 M, Gaza menjadi bagian dari Syam, yang tunduk pada kekuasaan Turki Utsmaniyah. Kekhalifahan ini mulai membuka kunjungan warga Eropa ke Gaza sejak sekira 1660-an. Bahkan, pemimpin Prancis, Napoleon Bonaparte, sempat berada selama tiga hari di Gaza pada 1799 dan menempati rumah Raja Ridwan.

Aksi Solidaritas Palestina | DOK REP

Firas Alkhateeb dalam "The Nakba: The Palestinian Catastrophe of 1948" di laman Lost Islamic History menulis, pada 1800-an, Eropa melahirkan gerakan nasionalisme yang juga mempengaruhi orang-orang Yahudi di sana. Gerakan ini melahirkan gerakan Zionisme, pendirian negara Yahudi ketika mengalami tekanan dan diskriminasi di Eropa, Yahudi berinisiatif mendirikan negara sendiri.

 

Usai Kongres Zionis I pada 1897, Gerakan Zionisme memutuskan Palestina sebagai tempat berdirinya negara Yahudi. Saat itu, Palestina, termasuk Gaza di dalamnya, masih merupakan bagian wilayah milik Dinasti Turki Usmani.

 

Pemimpin Gerakan Zionisme Theodor Herzl sempat menawarkan transaksi pelepasan tanah Palestina dari Dinasti Turki Usmani dengan tawaran 150 juta poundsterling kepada Raja Abdulhamid II. Namun, Palestina tetap dipertahankan menjadi bagian Dinasti wilayah Turki Usmani.

 

Saat Perang Dunia Pertama pecah, Inggris menduduki Palestina pada 1917. Di saat yang tak lama berselang, Inggris mendeklarasikan dukungan berdirinya negara Yahudi di Palestina. Setelah perang, Palestina berada di bawah Liga Mandat Negara Inggris pada 1920.

 

Saat itulah arus emigrasi Yahudi ke Tanah Palestina bermula. Berdasarkan data sensus Inggris, dalam 25 tahun sejak 1922, jumlah warga Yahudi di Palestina mencapai 553.600 jiwa.

 

Tak lagi bisa mengendalikan teritori, Inggris meninggalkan Palestina pada 1940-an dengan Mandat Palestina. Di tahun yang sama pula, Israel mengumumkan berdirinya negara Yahudi bernama Israel.

 

Perang pecah antara Palestina dan Israel yang membuat lebih dari 700 ribu warga Palestina mengungsi ke berbagai negara tetangga, inilah peristiwa yang dikenal sebagai Nakba.

 

Desakan Israel untuk menguasai Semenanjung Sinai, Gaza, Tepi Barat, Yerusalem, dan Dataran Tinggi Golan kian menjadi sehingga terjadi Perang Enam Hari pada 5 hingga 10 Juni 1967. Wilayah Tepi Barat dan Yerusalem berada di bawah kendali Yordania.

 

Sementara Gaza berada di bawah kepemimpinan Mesir dan Dataran Tinggi Golan juga lebih kuat dipengaruhi Suriah. Invasi Israel membuat ketiga negara membuat pertahanan bersama di bawah komando Mesir. Dewan Keamanan PBB menginisiasi gencatan senjata antara kedua kubu.

 

Pada 1978, diadakan perundingan antara Israel dan Mesir di Camp David. Israel mengembalikan Semenanjung Sinai kepada otoritas Mesir. Pembicaraan mengenai otonomi Gaza dan Tepi Barat juga sempat disinggung. Namun, tidak berujung solusi karena Palestinian Liberation Organization (PLO) tidak menerima pembatasan otonomi dalam usulan tersebut.

 

Mesir dan Israel menyepakati perjanjian damai pada 26 Maret 1979. Kesepakatan yang diperantarai Amerika Serikat (AS) itu pada akhirnya tidak berujung solusi bagi rakyat Palestina, khususnya Jalur Gaza. Bahkan, sejak itulah isolasi dirasa kian meningkat bagi mereka, hingga sekarang ini.

top